Perkembangan penting sejak Mei 2003: Selama 2003, terdapat sejumlah
laporan tentang tiga insiden ranjau/alat peledak rakitan di Aceh yang
menyebabkan jatuhnya delapan korban. Terdapat pula sejumlah kasus di Aceh dimana
aparat keamanan menemukan bahan peledak rakitan (Improvised Explosive
Device, IED) yang ditanam oleh Gerakan Aceh Merdeka.
Perkembangan penting sejak 1999: Indonesia berulang kali menegaskan
komitmennya terhadap Konvensi Anti Ranjau Darat, dan telah merintis upaya
ratifikasi, kendatipun lambat, sejak 2002. Pada Mei 2002, Indonesia
mengungkapkan memiliki cadangan ranjau anti-personil sebanyak 16.000 unit. Sejak
2001, terdapat sejumlah insiden ranjau rakitan dan booby-traps di Aceh dan
Ambon.
Kebijakan Anti-Ranjau Darat
Republik Indonesia menandatangani Konvensi Anti Ranjau Darat tanggal 4
Desember 1997, namun belum meratifikasinya. Pada Pertemuan Negara Peratifikasi V
bulan September 2003, Dian Wirengjurit yang mewakili Indonesia mengungkapkan
bahwa komitmen mereka untuk melarang ranjau darat “tidak berubah”.
Dian menambahkan, “Proses ratifikasi tengah berlangsung, kendatipun kita
tidak dapat menyangkal bahwa prosesnya dianggap lamban, bahkan seperti yang
dikeluhkan beberapa negara, terlalu lamban. Sejumlah keadaan di masa lampau
serta tantangan masa kini telah menghambat
proses.”[1]
Indonesia tergolong lambat dalam mengikuti proses kelahiran Konvensi Ottawa
(Ottawa Process). Indonesia menghadiri proses negosiasi konvensi hanya sebagai
pengamat, namun tepat sebelum acara penandatanganan Konvensi Anti Ranjau Darat
memutuskan untuk “bergabung dengan mayoritas masyarakat
internasional”[2] dalam
menandatangani konvensi. Sejak saat itu, Indonesia telah berulangkali
menengaskan bahwa tidak ada keberatan terhadap ratifikasi dan keterlambatan
lebih banyak disebabkan oleh hambatan administratif dan prioritas lainnya.
Indonesia selalu mendukung setiap resolusi anti-ranjau darat oleh Majelis Umum
PBB sejak 1996, termasuk resolusi Majelis Umum PBB 58/53 tanggal 8 Desember
2003. Indonesia menghadiri hampir seluruh pertemuan tahunan Negara Peratifikasi
dan banyak pertemuan sela, termasuk pertemuan bulan Febaruari dan Juni
2004.[3] Pada pertemuan bulan
Februari, delegasi Indonesian mengungkapkan bahwa Indonesia akan
mempertimbangkan untuk menyerahkan laporan Pasal 7 tentang pelaporan secara
transparan.[4]
Tak ada kemajuan penting dalam proses ratifikasi selama proses penulisan
laporan ini. Pada bulan Februari 2004, Rollyansyah Soemirat dari Departemen Luar
Negeri mengungkapkan bahwa proses ratifikasi masih berada pada tahap diskusi
antar departemen. Pertemuan terkahir antar departemen pada Kelompok Kerja
Konvensi Anti Ranjau Darat dilangsungkan tanggal 26 Juni 2003, melibatkan
Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, TNI, BPPT, dan
LIPI.[5]
Departemen Luar Negeri bertanggung jawab menyusun teks rancangan
undnag-undang yang harus diserahkan kepada Presiden untuk mendapatkan izin
prakarsa, sebelum diteruskan ke DPR untuk persetujuan. Hingga saat ini, naskah
akademik tersebut belum selesai
disusun.[6] Konvensi Anti Ranjau Darat
diharapkan akan menjadi pertimbangan Departemen Luar Negeri setelah ratifikasi
CTBT (Comprehensive Test Ban Treaty).
Kelompok Kerja Konvensi Anti Ranjau Darat dibentuk awal 2002. Pada tahun yang
sama, Konvensi Anti Ranjau Darat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan
Departemen Pertahanan menyelenggarakan program sosialisasi untuk
menginformasikan TNI tentang keberadaan konvensi tersebut. Departemen Luar
Negeri dan Departemen Pertahanan mengadakan sebuah seminar bertema “Menuju
Ratifikasi Konvensi Ottawa” pada Agustus 2002. Indonesia hadir pada
Defense Forum di Tokyo, Januari 2003, dimana para pesertanya membahas upaya
pelarangan ranjau darat di Asia Pasifik. Pada bulan Mei 2003, sejumlah pejabat
pemerintah Kanada mengunjungi Indonesia guna mempercepat proses ratifikasi,
bertemu dengan Menteri Pertahanan, Panglima TNI, pejabat di Departemen Luar
Negeri, dan sejumlah anggota parlemen. Indonesia turut serta dalam Bangkok
Regional Action Group (BRAG), yang dibentuk oleh State Parties dari kawasan Asia
Pasifik bulan September 2002, yang bertujuan untuk meningkatkan upaya pelarangan
ranjau darat di kawasan tersebut menjelang penyelenggaraan Pertemuan State
Parties V di Bangkok, September 2003. Isu ranjau darat tidak dimasukkan ke dalam
topik pembicaraan pada KTT ASEAN di Indonesia Oktober 2003 lalu, kendatipun
sebelumnya sempat dibicarakan pada ASEAN Senior Officials
Committee.[7]
Indonesia tidak termasuk ke dalam Konvensi Anti Senjata Konvensional
(Convention on Conventional Weapons (CCW)) ataupun Amandemen Protokol II tentang
ranjau darat. Sebuah sumber di Departemen Luar Negeri menjelaskan bahwa
ketidakikutsertaan Indonesia dalam konvensi tersebut karena Indonesia sudah
menandatangani Konvensi Anti Ranjau
Darat.[8]
Produksi, Pemindahan, dan Cadangan
Indonesia menyatakan tidak pernah memproduksi atau mengekspor ranjau darat
anti personil.[9] Tahun 2002,
Indonesia untuk pertama kalinya mengungkapkan memiliki 16.000 cadangan ranjau
darat anti-personil yang disimpan di berbagai
lokasi.[10] Ranjau-ranjau tersebut
umumnya diimpor dari Amerika Serikat, bekas Uni Soviet, dan bekas Yugoslavia
awal decade 1960-an silam.[11] Kol.
Bambang Irawan dari Departemen Pertahanan mengungkapkan bahwa ranjau-ranjau
tersebut disimpan untuk keperluan latihan
saja.[12] Pada bulan Juni 2004,
Suryana Sastradireja dari Perwakilan Tetap Indonesia untuk PBB di Jenewa,
memberitahukan Landmine Monitor bahwa bila telah meratifikasi, Indonesia berniat
untuk menyimpan 10.000 ranjau bagi keperluan latihan sesuai dengan Pasal 3
Konvensi Anti Ranjau Darat.[13]
Jumlah ini merupakan salah satu yang terbesar di antara state parties.
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diduga pernah mencoba mendapatkan ranjau
anti-personil secara illegal. Pada Mei 2001, dua tentara Thailand ditahan karena
mencoba menyusupkan sejumlah senjata, termasuk ranjau jenis M14 dan M18A1;
mereka mengungkapkan bahwa senjata tersebut akan dikirim ke
Aceh.[14]
Insiden Ranjau Darat/ IED dan Korban
Indonesia menyatakan bukan negara yang terkena dampak ranjau. Kendatipun
demikian, sejumlah laporan media massa menunjukkan adanya insiden ranjau darat
berikut korbannya sepanjang tahun 2001, 2002, dan
2003.[15] Insiden-insiden tersebut
melibatkan ranjau rakitan dan booby traps, ketimbang ranjau buatan pabrik.
Pada tahun 2003, tiga insiden dilaporkan terjadi di Aceh. Pemerintah menuduh
GAM sebagai dalang insiden tersebut. Bulan Mei 2003, sebuah ranjau darat di desa
Darussalam, Aceh Utara, menewaskan seorang anggota
Kopassus.[16] Pada tanggal 22 Juni
2003, lima anggota Brimob terluka setelah truk mereka menabrak sebuah IED di
Desa Ale Gedong, Geumpang,
Pidie.[17] Tanggal 21 September
2003, dua warga sipil tewas oleh IED yang ditanam di jalan raya Medan-Banda Aceh
di Desa Gampong Meunasah Krueng, Kecamatan Peudawa, Aceh
Timur.[18]
Pada beberapa kesempatan lain, TNI menemukan sejumlah IED yang diduga ditanam
oleh GAM. Bulan Juni 2003, TNI menemukan dua IED di Dewantara, Aceh Utara
[19], satu IED di Desa Brueh,
Kecamatan Meuredu, Kabupaten Pidie, dan satu IED di jalan di Desa Aloe Garut,
Kecamatan Nissam, Aceh Utara.[20]
Tanggal 2 Juli 2003, TNI menjinakkan sebuah IED yang ditemukan oleh masyarakat
lokal di sepanjang jalan di Kecamatan Nissam, Aceh Utara; IED tersebut
menghalangi akses menuju PT. Kertas Kraft
Aceh.[21] Tanggal 30 Juli 2003, TNI
menemukan dua ranjau anti personil, bersama sebuah mortar dan sembilan bom
rakitan aktif, di Desa Rumah Rayeuk, Langkahan, Aceh
Utara.[22] Empat IED ditemukan di
Aceh Tamiang tanggal 20 Agustus
2003.[23] Bulan Desember 2003, media
massa melaporkan bahwa GAM menaruh sebuah boob-trap pada sebuah sekolah kejuruan
di Desa Kampung Melayu,
Langsa.[24]
Setelah sejumlah insiden IED/ranjau darat dilaporkan terjadi di Ambon tahun
2002 lalu, sepanjang 2003 dan 2004 tidak ditemukan insiden sejenis. Kendatipun
demikian, bulan Juni 2003, TNI menemukan sebuah gudang senjata, termasuk enam
IED di Ahuru.[25]
Dalam wawancaranya dengan harian Ambon Ekspress, Mayor Broto Guncahyo
mengungkapkan bahwa Juli 2002, TNI telah membersihkan sebuah wilayah di Ambon
dari booby-trap.[26] Menurut Letnan
Kolonel Yudi Zanibar, Komandan Kodim 1504 Pulau Ambon, selama bulan Mei dan Juni
2002, aparat kepolisian dan tentara bersama-sama membersihkan wilayah antara
Ahuru dan Karang Panjang, dan Suli dan Tial, yang merupakan lokasi insiden
ranjau darat pada tahun yang
sama.[27] Namun, bulan Mei 2003,
menurut Komandan Kodam Pattimura, Kol. Haris Sarjana, “Sebuah survey
mendapati masih banyak ranjau darat di Ahuru, namun kita masih perlu
mengkonfirmasi apakah ranjau-ranjau tersebut buatan pabrik atau rakitan.”
[28] Bulan March 2004, Indonesian
Campaign to Ban Landmines (Kampanye Anti-Ranjau Darat Indonesia) mewawancarai
sejumlah anggota masyarakat Ambon yang masih meyakini bahwa sejumlah ranjau
rakitan masih tersembunyi.[29]
Seorang penduduk lokal mengaku belajar secara otodidak untuk menjinakkan ranjau,
dan selama ini telah menemukan lebih dari seratus ranjau rakitan di
Ahuru.[30] Inisiatif ini diambilnya
karena polisi dan tentara tidak mampu membersihkan semua ranjau rakitan.
Terdapat sejumlah keterangan yang saling bertentangan tentang kemungkinan
penggunaan ranjau darat oleh Indonesia di Irian Barat dalam konflik dengan
Belanda selama 1961-1962 dan di Timor Timur selama tahun
1970-an.[31]
Tiga tentara Indonesia menjadi korban ranjau darat selama operasi perdamain
di Kamboja.[32]
Pembersihan Ranjau dan Program Bantuan Terhadap Korban
Indonesia belum pernah memberikan bantuan finansial kepada program
anti-ranjau internasional sejak 1998, seusai memberikan sumbangan US $ 40.000
kepada Dana Sukarela PBB bagi kegiatan pembersihan ranjau di
Kamboja.[33]
Korban insiden ranjau Ambon mendapatkan bantuan medis di tiga rumah sakit:
RSU Haulussy, RS GPM, dan RS Angkatan Laut. Korban konflik Ambon mendapatkan
perawatan gratis di RSU Haulussy. Obat-obatan dan bantuan medis lainnya juga
terdapat di berbagai Puskesmas, serta dari Jesuit Refugee Service (JRS) dan
Gereja Protestan Maluku
(GPM).[34]
[1] Pernyataan oleh Dian Wirengjurit, Ketua
Delegasi Republik Indonesia ke Pertemuan Negara Peratifikasi V, Bangkok, 17
September 2003. [2] Pernyataan oleh Edi
Sudradjat, Menteri Pertahanan dan Keamanan, Konferensi Penandatanganan Konvensi
Anti Ranjau Darat, Ottawa, 2 Desember
1997 [3] Indonesia tidak menghadiri
Pertemuan Negara Peratifikasi tahun 2002. Indonesia ikut serta dalam Pertemuan
Panitia Kerja September 1999, Mei 2000, Mei 2002, Februari 2003 dan Mei
2003. [4] Pernyataan kepada Universalization
Contact Group, Jenewa, 12 Februari 2004. [5]
Wawancara dengan Rolliansyah Soemirat, Direktorat Keamanan Internasional dan
Pelucutan Senjata, Departemen Luar Negeri, 27 Februari 2004. Pemilihan presiden
2004 juga menyebabkan keterlambatan proses ratifikasi. Dalam wawancara tanggal 6
September 2004, Rolliansyah Soemirat menyatakan bahwa pertemuan berikutnya akan
diadakan sekitar September 2004. [6]
Wawancara dengan Rolliansyah Soemirat, Direktorat Keamanan Internasional dan
Pelucutan Senjata, Departemen Luar Negeri, 27 Februari 2004. Rolliansyah
menjelaskan bahwa berdasarkan Dekrit Presiden No. 188/1998, Departemen Luar
Negeri adalah pemrakarsa penyusunan Undang-Undang Anti Ranjau
Darat. [7] Lihat Landmine Monitor Report
2003, hlm. 359. [8] Wawancara dengan Suryana
Sastradiredja, Departemen Luar Negeri ,Jakarta, 26 Februari
2001. [9] Wawancara telepon dengan Kol.
Bambang Irawan, Departemen Pertahanan, 13 Maret
2003. [10] Pernyataan Kol. Bambang Irawan,
Departemen Pertahanan, kepada Komite Pemusnahan Cadangan Ranjau, Jenewa, 30 Mei
2002. Awalnya, jumlah cadangan ranjau darat mencapai 22.000, namun ranjau yang
rentan meledak kemudian dihancurkan. Lihat Landmine Monitor Report 2002, hlm.
564. [11] Wawancara dengan Kol. Bambang
Irawan, Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, 5 Maret 2004. Lihat juga
Landmine Monitor Report 2002, hlm. 564. Ranjau darat buatan Yugoslavia yang
dimiliki Indonesia adalah jenis PROM dan
PMA. [12] Wawancara dengan Kol. Bambang
Irawan, Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, 5 Maret 2004. Kol. Bambang
tidak menjelaskan lebih lanjut materi apa yang diberikan dalam pelatihan
tersebut. Sebelumnya, Kol. Bambang pernah menjelaskan bahwa TNI tidak memiliki
pengalaman dan keterampilan yang layak untuk melakukan operasi pembersihan
ranjau. Wawancara Landmine Monitor (HIB) dengan Kol. Bambang Irawan, Departemen
Pertahanan, Jenewa, 28 Mei 2002. [13]
Wawancara Landmine Monitor (Nonviolence International) dengan Suryana
Sastradireja, Konsul, Perwakilan Tetap Indonesia untuk PBB, Jenewa, 21 Juni
2004. Delegasi Indonesia pada pertemuan sela bulan Februari 2004 juga
memberitahukan Komite Pemusnahan Cadangan Ranjau bahwa Indonesia bermaksud untuk
menyisakan 10.000 ranjau darat. [14] Lihat
Landmine Monitor Report 2002, hlm . 564. Dalam insiden lain, Suryana
Sastradireja menginformasikan bahwa tahun 1999 atau 2000 Indonesia berhasil
menghadang dua kapal berisi senjata --termasuk ranjau darat anti personil--,
yang sedianya akan dikirim untuk Gerakan Aceh Merdeka. Wawancara Landmine
Monitor (Nonviolence International) dengan Suryana Sastradireja, Konsul,
Perwakilan Tetap Indonesia untuk PBB, Jenewa, 21 Juni
2004. [15] Di Aceh, November 2002, seorang
tentara tewas dan empat lainnya terluka setelah seorang tentara mengaktifkan
ranjau/peledak rakitan yang ditanam pada sebuah jembatan, saat mereka tengah
berpatroli di Desa Pante Rambong; tahun 2001, tiga orang polisi dan seorang
marinir terbunuh dan lima lainnya terluka oleh ranjau darat dalam dua insiden
berbeda. Di Ambon, Agustus 2002, ranjau darat rakitan dan booby-traps yang
ditnaman di hutan telah membunuh lima orang dan melukai sepuluh lainnya. Lihat
laporan Landmine Monitor Report edisi sebelumnya untuk informasi lebih
detail. [16] “Acehnese Separatists
Condemned for Using Landmines in Aceh Conflict,” ANTARA (Jakarta), 29 May
2003; “Indonesian army kills two more GAM rebels,” Xinhua (Jakarta),
28 May 2003. [17] “Truk dibom, 5
Brimob Cedera”, Serambi Indonesia, 24 Juni
2003. [18] “2 Warga Sipil Tewas Kena
Bom, Masyarakat Temukan 4 Mayat”, Waspada, 24 September
2003. [19] “Jet F16 Gempur
GAM”, Jawa Pos, 17 Juni 2003. [20]
“Mati Setelah Disiksa”, Jawa Pos, 18 Juni
2003. [21] Peledak rakitan tersebut
ditanam sekitar satu meter dari permukaan tanah, dan terbuat dari sebuah kaleng
cat berukuran satu galon yang berisi KCLO3 (potasium klorat), KNO3 (kalium
nitrat), belerang, bromida, dan TNT, bersama semen putih, potongan-potongan besi
tajam, gir sepeda motor dan pecahan pedal sepeda. “TNI Hancurkan
Ranjau-ranjau Darat GAM”, Kompas, 3 Juli
2003. [22] “Kontak Senjata Terjadi
di Dekat Bandara Banda Aceh”, Kompas, 1 Agustus
2003. [23] “Aceh Mulai Aman, 2 GAM
Tewas, 1 Bom dan 4 Ranjau Rakitan Disita”, Waspada, 21 Agustus
2003. [24] “Alat Peledak di Tiang
Bendera”, Waspada, 5 Desember
2003. [25] Azis Tunny, “Mines,
ammunition found in Maluku,” Jakarta Post, 16 June
2003. [26] Wawancara di Ambon Ekspress, 12
Agustus 2002. [27] “Ditemukan
Senjata, Granat, dan Bom Rakitan di Ahuru”, Suara Maluku, 14 Juni 2003.
Artikel tersebut mengutip pernyataan Letnan Kolonel Yudi Zanibar, Kepala Kodim
1504 Pulau Ambon. [28] “Airforce
Command to Coordinate Sweep of Landmines in Ambon,” ANTARA (Ambon), 26 May
2003. [29] Salah satunya adalah Yani
Kubangun, Redaktur Ambon Ekspress. Yani mengikuti proses pembersihan ranjau di
dua lokasi tahun 2002 lalu, dan mengungkapkan bahwa pada beberapa kesempatan
detektor metal tidak bisa mendeteksi keberadaan peledak rakitan. Wawancara
dengan Yani Kubangun, 8 Maret 2004. [30]
Wawancara dengan Cobra, Karang Panjang, 10 Maret
2004. [31] Lihat Landmine Monitor Report
2000, hlm. 452-453. [32] Wawancara dengan
Kol. Bambang Irawan, Departemen Pertahanan, 28 Mei
2002. [33] “Assistance in Mine
Clearance: Report of the Secretary-General,” UNGA A/53/496, 14 October
1998, p. 29. [34] Wawancara dengan Jack
Manuputty, Kepala GPM (Gereja Protestan Maluku) Crisis Centre, 9 Maret
2004.